Alpha Woman
Istilah ini mulai populer pada awal 2000-an, dan sejak itu telah menjadi topik pembicaraan di berbagai media dan platform sosial. Ada banyak debat mengenai apakah "alpha woman" adalah sebuah konsep yang positif atau negatif, namun tidak dapat disangkal bahwa fenomena ini merupakan hasil dari perubahan sosial dan budaya yang terjadi selama beberapa dekade terakhir.
Perubahan dalam peran wanita dalam masyarakat,
kemajuan dalam pendidikan dan kesetaraan gender, serta meningkatnya kesadaran
akan pentingnya memiliki kemandirian finansial dan profesional, semuanya telah
memainkan peran dalam menghasilkan fenomena "alpha woman" yang
terlihat saat ini.
Dalam beberapa dekade terakhir, peran dan ekspektasi
masyarakat terhadap wanita telah berubah secara signifikan. Wanita sekarang
diharapkan untuk memimpin, mengambil keputusan, dan mencapai kesuksesan dalam
karir dan kehidupan pribadi mereka, bukan hanya sebagai pendamping atau ibu
rumah tangga.
Wanita yang menunjukkan sifat-sifat "alpha"
sering dihormati dan dianggap sebagai panutan oleh banyak orang, namun juga
dapat menghadapi stigma atau kritik dari mereka yang menganggap sikap
"alpha" sebagai keegoisan atau agresivitas yang berlebihan.
Perubahan-perubahan yang terjadi ini juga membawa dampak
pada bagaimana wanita mengidentifikasi diri mereka sendiri. Banyak wanita
sekarang lebih memilih untuk mengejar karir profesional dan mengabaikan peran
tradisional sebagai ibu rumah tangga. Namun, perubahan ini juga membawa tekanan
dan tantangan tersendiri bagi mereka yang ingin menjadi seorang "alpha
woman". Banyak dari mereka harus menemukan keseimbangan antara pekerjaan,
karir, dan kehidupan pribadi mereka, yang dapat menjadi tugas yang sulit.
Namun, "alpha woman" juga dianggap sebagai
sumber inspirasi bagi banyak wanita lain yang ingin mengambil kontrol atas
hidup mereka dan mencapai kesuksesan yang sama. Wanita-wanita ini menunjukkan
bahwa perempuan tidak hanya mampu untuk mengambil peran yang dominan dalam
masyarakat, tetapi juga mampu memimpin, memotivasi dan menginspirasi orang
lain.
Tentu saja, menjadi seorang "alpha woman"
bukanlah sebuah hal yang mudah, dan banyak dari mereka yang membutuhkan waktu
dan usaha yang signifikan untuk mencapai tujuan mereka. Mereka harus
memperjuangkan hak-hak mereka, belajar untuk berbicara dengan tegas dan
membangun hubungan yang sehat dengan rekan kerja dan orang-orang di sekitar
mereka. Namun, keberhasilan "alpha woman" tidak hanya tergantung pada
kemampuan mereka dalam hal profesional atau karir, tetapi juga dalam hal kehidupan
pribadi mereka.
Menjadi seorang "alpha woman" dapat menjadi
sebuah pilihan hidup yang sulit, karena seringkali terdapat tekanan dan
ekspektasi yang tinggi dari lingkungan sekitar. Namun, dengan kemajuan yang
telah terjadi dalam masyarakat dan budaya, perempuan sekarang memiliki
kesempatan yang lebih besar untuk mencapai kesuksesan dan meraih keseimbangan
dalam kehidupan mereka.
Hakikat dari seorang "alpha woman" adalah bahwa
dia memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang kuat, percaya diri, mandiri, dan
ambisius. Wanita ini menunjukkan kemampuan untuk mengambil inisiatif dalam
kehidupan mereka, baik dalam karir, hubungan, atau kehidupan pribadi mereka.
Seorang "alpha woman" juga mampu berpikir
kritis dan mengambil keputusan yang tepat dalam situasi yang sulit. Dia juga
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas dan efektif, memotivasi
orang lain, dan memimpin dengan teladan yang baik.
Namun, menjadi seorang "alpha woman" tidak
berarti selalu harus tampil sebagai pemimpin atau menempati posisi puncak dalam
pekerjaan atau karir. Seorang "alpha woman" juga dapat memilih untuk
menjadi pendukung yang kuat bagi orang lain, serta menjalin hubungan yang sehat
dan bahagia dalam kehidupan pribadi mereka.
Hal yang penting untuk diingat adalah bahwa menjadi
seorang "alpha woman" tidak berarti harus menjadi sempurna atau tanpa
cacat. Setiap orang, termasuk seorang "alpha woman", memiliki kelemahan
dan kesulitan yang mereka hadapi. Yang membedakan adalah bagaimana mereka
menghadapinya dan belajar dari pengalaman tersebut.
Seorang "alpha woman" juga tidak selalu harus
menempuh jalur yang sama atau mencapai kesuksesan yang sama dengan orang lain.
Setiap orang memiliki tujuan dan definisi kesuksesan yang berbeda, dan penting
bagi seorang "alpha woman" untuk menemukan jalan hidup yang sesuai
dengan nilai-nilai dan keinginan mereka sendiri.
Secara keseluruhan, hakikat dari seorang "alpha
woman" adalah kemampuan untuk memimpin, mengambil inisiatif, dan mencapai
kesuksesan dalam kehidupan mereka, baik dalam karir, hubungan, atau kehidupan
pribadi mereka. Namun, mereka juga memiliki kemampuan untuk memilih jalur hidup
yang sesuai dengan nilai-nilai dan keinginan mereka sendiri serta menerima
kelemahan dan kesulitan dalam perjalanan hidup mereka.
Dalam pandangan filsafat, seorang "alpha woman"
dapat dianggap sebagai individu yang mampu mengambil tanggung jawab atas
hidupnya sendiri dan membangun jalan hidup yang sesuai dengan keinginan dan
nilai-nilainya. Pada dasarnya, ini sejalan dengan konsep agen moral yang
diusung oleh filsafat, yaitu kemampuan individu untuk memilih dan bertindak
sesuai dengan nilai-nilai moral yang dianggap baik.
Namun, pandangan filsafat juga menekankan bahwa individu
tidak bisa lepas dari keterkaitannya dengan lingkungan dan masyarakat
sekitarnya. Oleh karena itu, seorang "alpha woman" juga perlu
mempertimbangkan implikasi sosial dari tindakan dan pilihan hidupnya.
Selain itu, dalam pandangan etika, seorang "alpha
woman" dapat dianggap sebagai individu yang berkomitmen untuk mencapai
kebaikan dan kebahagiaan dalam hidupnya sendiri, namun tidak melupakan tanggung
jawab sosial dan moralnya terhadap orang lain. Seorang "alpha woman"
yang baik harus mampu menyeimbangkan kepentingan pribadi dan kepentingan
bersama, serta mempertimbangkan dampak dari tindakan dan keputusannya terhadap
orang lain.
Dalam pandangan filosofi feminisme, konsep "alpha
woman" dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap patriarki dan
norma sosial yang mengikat peran dan ekspektasi gender. Seorang "alpha
woman" dapat dianggap sebagai sosok yang memperjuangkan kesetaraan dan
membangun citra perempuan yang kuat, mandiri, dan berdaya saing, sebagai bentuk
pemberdayaan dan pembebasan perempuan dari peran dan stereotipe yang sempit.
Namun, pandangan ini juga menimbulkan kontroversi dan
kritik dari kalangan yang menganggap bahwa konsep "alpha woman"
justru mengarahkan perempuan untuk meniru karakteristik maskulin dan
mengabaikan nilai-nilai feminin seperti empati dan kepedulian sosial.
Secara keseluruhan, pandangan filsafat memberikan
pemahaman yang lebih luas dan kompleks tentang konsep "alpha woman"
dalam konteks individu, masyarakat, dan nilai-nilai moral. Pandangan ini dapat
membantu membangun citra "alpha woman" yang lebih positif dan
inklusif, serta mengarahkan individu untuk membangun kehidupan yang sejalan
dengan nilai-nilai moral dan sosial yang baik.
Dalam pandangan filsafat eksistensialisme, seorang
"alpha woman" dapat dianggap sebagai individu yang memiliki kemampuan
untuk mengambil tanggung jawab atas hidupnya sendiri dan menentukan arah
hidupnya sendiri, tanpa terikat oleh ekspektasi atau norma-norma sosial yang
ada.
Eksistensialisme menganggap bahwa manusia dilahirkan
dalam keadaan bebas dan tanpa arti, dan bahwa setiap individu memiliki
kebebasan dan tanggung jawab untuk menentukan arti dan tujuan hidupnya sendiri.
Dalam konteks ini, seorang "alpha woman" dapat dianggap sebagai
individu yang mampu mengekspresikan kebebasan dan otonomi pribadinya dalam
menjalani hidupnya.
Namun, eksistensialisme juga menekankan bahwa kebebasan
individu juga membawa tanggung jawab moral yang besar terhadap diri sendiri dan
orang lain. Seorang "alpha woman" yang baik harus mampu mengambil
tanggung jawab penuh atas hidupnya sendiri dan membangun tujuan hidup yang
sejalan dengan nilai-nilai moral yang dianggap baik, serta mempertimbangkan
dampak dari tindakan dan keputusannya terhadap orang lain.
Selain itu, dalam pandangan eksistensialisme, seorang
"alpha woman" juga dapat dianggap sebagai individu yang berani
menghadapi ketidakpastian dan kebingungan hidup, serta mampu menemukan arti
hidup dan kebahagiaan dalam keadaan yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Dalam
hal ini, seorang "alpha woman" dapat dianggap sebagai sosok yang
inspiratif dan berani menghadapi tantangan hidup dengan penuh semangat dan
tekad.
Secara keseluruhan, pandangan eksistensialisme memberikan
pemahaman yang lebih dalam tentang konsep "alpha woman" sebagai
individu yang memiliki kebebasan dan otonomi dalam menjalani hidupnya, namun
juga memiliki tanggung jawab moral dan kewajiban untuk membangun tujuan hidup
yang sejalan dengan nilai-nilai moral yang baik. Pandangan ini dapat membantu
membangun citra "alpha woman" yang lebih positif dan mengarahkan
individu untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi pribadi dengan bertanggung
jawab secara moral.
Dalam pandangan filsafat strukturalisme, konsep
"alpha woman" dapat dilihat sebagai konstruksi sosial yang dibangun
melalui relasi sosial dan simbolik yang kompleks. Strukturalisme menekankan
bahwa manusia tidak mampu memahami dunia dengan cara yang objektif atau netral,
melainkan melalui simbol dan tanda yang diproduksi oleh sistem sosial dan
budaya yang ada.
Dalam konteks ini, "alpha woman" dapat dianggap
sebagai konstruksi sosial yang dibangun melalui proses simbolik yang kompleks,
seperti stereotip gender dan ekspektasi sosial terhadap wanita yang kuat dan
mandiri. Konstruksi sosial ini memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap
peran wanita dalam masyarakat, dan juga mempengaruhi bagaimana seorang
"alpha woman" memandang dirinya sendiri dan tujuannya dalam hidup.
Namun, strukturalisme juga menekankan bahwa konstruksi
sosial bukanlah sesuatu yang statis atau tidak dapat berubah. Seorang
"alpha woman" yang menunjukkan sifat-sifat kepemimpinan dan
kemandirian yang kuat dapat membantu memperkuat atau mengubah konstruksi sosial
yang ada, dan membuka jalan bagi perubahan sosial dan budaya yang lebih luas.
Selain itu, strukturalisme juga menekankan pentingnya
memahami relasi sosial dan simbolik yang kompleks dalam membangun identitas dan
tujuan hidup. Seorang "alpha woman" harus mampu memahami bagaimana
konstruksi sosial mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap dirinya dan
tujuan hidupnya, serta mampu mengambil tanggung jawab penuh atas identitas dan
tujuannya dalam hidup, tanpa terjebak dalam ekspektasi sosial yang sempit.
Secara keseluruhan, pandangan strukturalisme memberikan
pemahaman yang lebih dalam tentang konsep "alpha woman" sebagai
konstruksi sosial yang dibangun melalui relasi sosial dan simbolik yang
kompleks, namun juga memberikan kesempatan bagi individu untuk membentuk dan
mempengaruhi konstruksi sosial yang ada. Pandangan ini dapat membantu memahami
dinamika sosial dan budaya yang terkait dengan konsep "alpha woman",
serta membuka jalan bagi perubahan sosial dan budaya yang lebih inklusif dan
seimbang.
Namun, fenomena sosial seperti "alpha woman"
dipandang sebagai produk dari struktur sosial yang lebih besar dan tidak
sepenuhnya tergantung pada kemauan atau tindakan individu. Menurut
strukturalisme, individu hanya berperan sebagai agen yang membentuk dan dipengaruhi
oleh struktur sosial yang ada.
Oleh karena itu, dalam pandangan strukturalisme, gagasan
tentang "alpha woman" sebagai individu yang memiliki kekuatan dan
keberanian untuk mengambil inisiatif dalam kehidupan mereka dianggap sebagai
sebuah ilusi. Sebaliknya, mereka melihat "alpha woman" sebagai produk
dari struktur sosial yang menekankan nilai-nilai yang mendorong perempuan untuk
menjadi lebih mandiri dan percaya diri.
Namun, bantahan yang muncul terhadap pandangan
strukturalisme terhadap fenomena "alpha woman" adalah bahwa pandangan
ini dapat meminimalkan peran dan kekuatan individu dalam membentuk dan
mempengaruhi struktur sosial. Pandangan ini juga dapat mengabaikan pengaruh
kebudayaan, tradisi, dan ideologi pada individu yang dapat memotivasi mereka
untuk menentang struktur sosial yang ada dan mengubahnya.
Selain itu, pandangan strukturalisme juga dapat
mengabaikan keragaman individu dan kompleksitas hubungan sosial dalam
masyarakat. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi individu untuk menjadi
"alpha woman", termasuk latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan,
pengalaman hidup, dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, mengevaluasi fenomena
"alpha woman" hanya dari sudut pandang strukturalisme dapat
menyederhanakan masalah dan mengabaikan faktor-faktor individu yang dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan dan tindakan mereka.
Dalam kesimpulannya, pandangan strukturalisme dapat
memberikan pemahaman yang lebih luas tentang fenomena sosial seperti
"alpha woman", namun tidak boleh dijadikan sebagai satu-satunya
perspektif yang digunakan. Memahami kompleksitas dan keragaman individu serta
pengaruh budaya, tradisi, dan ideologi pada masyarakat sangat penting dalam
memahami fenomena "alpha woman" dan peran perempuan dalam masyarakat
secara keseluruhan.
Menurut filsafat strukturalisme, fenomena alpha woman
yang terlalu menonjol dan menekankan pada sifat-sifat kepemimpinan dan
kemandirian individu dapat berdampak buruk pada ekosistem sosial secara
keseluruhan.
Filsafat strukturalisme menekankan pada pentingnya
mempertahankan keseimbangan antara individu dan masyarakat, dan melihat bahwa
setiap individu selalu berada dalam keterkaitan dan ketergantungan dengan
lingkungannya. Oleh karena itu, fenomena alpha woman yang terlalu menonjol dan
menekankan pada keberhasilan individu dapat merusak ekosistem sosial karena
mengabaikan ketergantungan dan keterkaitan antara individu dengan masyarakat.
Dalam konteks ini, fenomena alpha woman dapat menjadi
ancaman bagi solidaritas sosial karena dapat memperkuat individualisme dan
menimbulkan ketidakseimbangan dalam hubungan antarindividu dan antara individu
dengan masyarakat. Dampak buruk dari fenomena alpha woman ini dapat terlihat
dalam penurunan solidaritas sosial, meningkatnya kesenjangan sosial dan
ketimpangan ekonomi, serta peningkatan ketidakadilan dan diskriminasi.
Selain itu, fenomena alpha woman juga dapat menimbulkan
dampak negatif pada hubungan antara individu dan lingkungannya. Ketika individu
terlalu menonjolkan keberhasilan dan keunggulan diri, ia cenderung mengabaikan
atau bahkan merugikan lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat terjadi ketika
individu terlalu fokus pada pencapaian pribadi dan tidak memperhatikan dampak
dari tindakan dan keputusannya terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Dalam konteks ini, filsafat strukturalisme menegaskan
pentingnya menjaga keseimbangan antara individu dan masyarakat, serta memahami
bahwa keberhasilan individu selalu bergantung pada lingkungannya. Oleh karena
itu, fenomena alpha woman perlu dilihat secara kritis dan tidak hanya dilihat
dari sudut pandang individu, tetapi juga dari sudut pandang ekosistem sosial
secara keseluruhan.
Gale Leo, seorang penulis dan pengamat sosial, menganggap
bahwa fenomena "alpha woman" dapat memiliki dampak negatif pada
kehidupan wanita dan masyarakat secara keseluruhan. Dia berpendapat bahwa fokus
pada sifat-sifat kepemimpinan dan ambisi wanita dapat mengabaikan aspek-aspek
kehidupan yang lebih penting seperti hubungan dan kebahagiaan pribadi.
Menurut Gale Leo, banyak wanita yang merasa tertekan
untuk menunjukkan sifat-sifat "alpha" untuk mencapai kesuksesan dalam
karir dan hidup mereka. Namun, ini dapat mengarah pada kelelahan, stres, dan
kecemasan yang berlebihan, dan dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisik
mereka.
Dia juga berpendapat bahwa fenomena "alpha
woman" dapat memicu persaingan yang tidak sehat antara wanita,
menghasilkan kesalahpahaman dan ketidakseimbangan dalam hubungan pribadi dan
profesional. Hal ini dapat menyebabkan ketidakharmonisan di antara wanita dan
juga dapat merusak solidaritas dan dukungan di antara mereka.
Gale Leo juga mengatakan bahwa fokus yang berlebihan pada
sifat-sifat "alpha" dapat menghasilkan stereotip gender yang
merugikan. Hal ini dapat menimbulkan tekanan pada wanita untuk menunjukkan
sifat-sifat tertentu agar dapat diakui sebagai individu yang sukses, sementara
pada saat yang sama meremehkan sifat-sifat yang dianggap lebih tradisional,
seperti kelembutan dan kepekaan.
Dalam pandangan Gale Leo, penting bagi wanita untuk
mengejar kesuksesan dan mencapai ambisi mereka, namun tidak boleh dilakukan
dengan mengabaikan aspek-aspek kehidupan yang lebih penting seperti kesehatan
mental dan hubungan pribadi yang sehat. Keseimbangan dalam hidup sangat penting
dan sifat-sifat "alpha" tidak boleh menjadi satu-satunya penentu
kesuksesan dan kebahagiaan.
Erik Erikson adalah seorang psikolog dan teoriwan
perkembangan manusia yang mengembangkan teori tentang delapan tahap
perkembangan psikososial. Dalam konteks fenomena alpha woman, Erikson melihat
bahwa wanita yang memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan yang kuat dapat
mengalami tantangan dan kesulitan dalam tahap perkembangan kehidupan mereka.
Menurut Erikson, pada tahap masa dewasa awal, individu
dihadapkan pada konflik antara keintiman dan isolasi. Individu yang mampu
membangun hubungan yang intim dengan orang lain dapat mengalami kepuasan dan
merasa terhubung dengan dunia sekitarnya, sementara individu yang gagal
melakukannya dapat mengalami rasa kesepian dan isolasi.
Dalam konteks fenomena alpha woman, wanita yang
menunjukkan sifat-sifat kepemimpinan yang kuat dapat mengalami kesulitan dalam
membangun hubungan yang intim dengan orang lain. Hal ini dapat terjadi karena
mereka terlalu fokus pada pencapaian tujuan dan kesuksesan pribadi mereka, sehingga
kurang memperhatikan kebutuhan dan perasaan orang di sekitar mereka.
Erikson juga berbicara tentang tahap perkembangan masa
dewasa tengah, di mana individu dihadapkan pada konflik antara produktivitas
dan stagnasi. Pada tahap ini, individu diharapkan untuk mencapai tingkat
produktivitas yang tinggi dalam karir, keluarga, dan masyarakat, sementara
individu yang gagal melakukannya dapat mengalami rasa stagnasi dan kekecewaan.
Dalam konteks fenomena alpha woman, wanita yang
menunjukkan sifat-sifat kepemimpinan yang kuat dapat mencapai tingkat
produktivitas yang tinggi dalam karir dan kehidupan pribadi mereka, namun dapat
mengalami kekecewaan jika mereka tidak dapat mencapai tingkat produktivitas
yang diharapkan. Hal ini dapat memicu perasaan tidak puas dan merasa tidak
memadai, bahkan jika mereka telah mencapai kesuksesan dalam banyak hal.
Dengan demikian, menurut Erikson, fenomena alpha woman
dapat memicu tantangan dan kesulitan dalam tahap perkembangan kehidupan mereka,
terutama dalam hal membangun hubungan yang intim dengan orang lain dan mencapai
tingkat produktivitas yang tinggi tanpa merasa kecewa dan tidak puas.
Erik Erikson juga menawarkan pandangannya tentang peran
dan dampak alpha woman dalam masyarakat. Menurut Erikson, keberhasilan atau
kegagalan seseorang dalam memenuhi tugas perkembangan selama hidupnya akan
mempengaruhi kemampuan mereka dalam mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan
psikologis.
Dalam pandangan Erikson, tugas perkembangan terakhir yang
harus dihadapi seseorang adalah "integritas melawan putus asa". Tugas
ini berkaitan dengan penerimaan terhadap kematian dan pengakuan terhadap
keberhasilan dalam hidup. Erikson percaya bahwa seseorang yang berhasil
memenuhi tugas ini akan merasa puas dan merasa hidupnya memiliki arti.
Namun, Erikson juga mengakui bahwa dalam masyarakat yang
menekankan pada kesuksesan dan kepemimpinan, alpha woman mungkin mengalami
kesulitan dalam mencapai tugas perkembangan ini. Mereka dapat terjebak dalam
siklus keinginan terus menerus untuk mencapai lebih banyak kesuksesan, merasa
tidak pernah cukup, dan kehilangan kesempatan untuk merenungkan kehidupan
mereka.
Dampak buruk yang dapat terjadi adalah kehilangan makna
hidup, rasa putus asa, dan perasaan kurangnya kepuasan dalam hidup. Alpha woman
juga dapat mengalami kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal yang
sehat dan bermakna, karena kesibukan dan fokus yang terus-menerus pada karir
dan kesuksesan pribadi.
Meskipun alpha woman seringkali dianggap sebagai model
kepemimpinan yang positif dan dihormati oleh banyak orang, Erikson menyarankan
bahwa perlu ada keseimbangan antara mencapai kesuksesan dan memenuhi tugas
perkembangan psikologis yang penting untuk mencapai kebahagiaan sejati.
Sigmund Freud, seorang bapak psikoanalisis terkenal,
memiliki pandangan yang cukup negatif terhadap fenomena "alpha
woman". Menurut pandangan Freud, peran tradisional wanita sebagai ibu rumah
tangga dan pendamping laki-laki sangat penting untuk keseimbangan psikologis
individu dan masyarakat.
Freud berpendapat bahwa wanita yang mengejar karir atau
memiliki ambisi yang tinggi dapat mengalami gangguan psikologis yang disebut
"neurosis feminin". Menurut Freud, neurosis feminin terjadi ketika
seorang wanita berusaha untuk menekan hasrat seksualnya untuk memenuhi tuntutan
sosial untuk menjadi ibu rumah tangga dan pendamping yang pasif.
Freud juga mengemukakan bahwa wanita yang memiliki
sifat-sifat "alpha" cenderung memiliki masalah dalam hubungan intim,
karena mereka cenderung mengambil posisi dominan dan menekan sisi feminin
mereka. Menurut Freud, wanita yang tidak mampu mengekspresikan sisi feminin
mereka dengan baik dapat mengalami ketidakseimbangan psikologis dan seksual.
Pandangan Freud yang negatif terhadap alpha woman tidak
mendapatkan dukungan luas dari para feminis dan ahli psikologi modern. Banyak
yang percaya bahwa pandangan Freud terlalu terfokus pada pemahaman tradisional
tentang peran gender dan tidak memperhitungkan perubahan sosial dan budaya yang
terjadi selama beberapa dekade terakhir.
Salah satu teori psikologi keluarga yang mendukung freud
dan dapat menjelaskan dampak buruk dari fenomena alpha woman adalah teori Bowen
yang mengemukakan tentang konsep "dysfunctional family". Menurut
teori ini, sebuah keluarga dapat dikategorikan sebagai keluarga disfungsional
jika anggota keluarga mengalami kecemasan dan stres yang tidak sehat yang
mempengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka.
Dalam konteks fenomena alpha woman, teori Bowen dapat
menggambarkan dampak buruk yang terjadi pada keluarga di mana seorang wanita
menunjukkan sifat alpha yang terlalu dominan. Wanita yang terlalu ambisius dan
terlalu fokus pada karir dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam keluarga,
terutama jika dia menuntut pengorbanan yang terlalu besar dari pasangannya atau
anak-anaknya.
Dalam hal ini, pandangan Freud tentang konsep
"penyimpangan seksual" dapat diaplikasikan, di mana Freud berpendapat
bahwa seorang wanita yang terlalu dominan dan menolak untuk menerima peran
tradisional sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh anak dapat dianggap sebagai
penyimpangan seksual atau "kecelakaan perkembangan seksual".
Pandangan ini dapat diterapkan pada wanita yang menunjukkan sifat alpha yang
terlalu dominan dan memperlihatkan kurangnya perhatian pada kebutuhan keluarga
dan anak-anak mereka.
Dalam keluarga, keberadaan wanita alpha yang terlalu
dominan dapat mengganggu stabilitas keluarga dan menimbulkan stres dan
kecemasan pada pasangan dan anak-anaknya. Anak-anak dapat merasa diabaikan atau
kurang mendapat perhatian dari orang tua mereka, yang dapat mengakibatkan
masalah emosional dan perilaku di masa depan. Pasangan dapat merasa terbebani
dengan tuntutan dan harapan yang terlalu besar dari pasangan yang alpha, yang
dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka.
Dalam kesimpulannya, teori psikologi keluarga seperti
teori Bowen dapat memberikan gambaran tentang dampak buruk yang terjadi pada
keluarga di mana seorang wanita menunjukkan sifat alpha yang terlalu dominan.
Pandangan Freud tentang konsep "penyimpangan seksual" juga dapat
diterapkan pada wanita alpha yang terlalu fokus pada karir dan kurang
memberikan perhatian pada kebutuhan keluarga dan anak-anak mereka. Oleh karena
itu, penting bagi wanita alpha untuk mencari keseimbangan dalam kehidupan
mereka dan memperhatikan kebutuhan keluarga dan anak-anak mereka agar tidak
menimbulkan dampak buruk pada keluarga mereka.
Kaesimpulan dan penyelesaian dari fenomena "alpha
woman" berdasarkan pendapat Erik Erikson, Sigmund Freud, dan Alfred Adler:
- Erik
Erikson: Menurut Erik Erikson, perkembangan identitas dan kepribadian
seseorang terjadi melalui delapan tahap, yang dimulai dari masa bayi
hingga dewasa. Pada tahap identitas versus peran bercabang (identity
versus role confusion), remaja mencari jati diri mereka dan mencoba
memahami siapa mereka dan di mana mereka berada dalam dunia ini. Wanita
"alpha" kemungkinan telah melewati tahap ini dengan sukses, dan
memiliki rasa percaya diri dan kemampuan untuk mengambil kendali dalam
hidup mereka.
- Sigmund
Freud: Menurut Freud, kepribadian seseorang terbentuk melalui tiga
struktur kepribadian: id, ego, dan superego. Wanita "alpha"
kemungkinan memiliki ego yang kuat, yang memungkinkan mereka untuk
mengatasi dorongan dari id dan tuntutan dari superego. Mereka mungkin juga
telah berhasil melewati tahap Oedipus kompleks (untuk anak perempuan) dan
menjadi lebih mandiri dalam hubungan mereka dengan ayah mereka.
- Alfred
Adler: Menurut Adler, kepribadian seseorang dipengaruhi oleh perasaan
inferioritas atau superioritas mereka. Wanita "alpha"
kemungkinan memiliki rasa superioritas yang kuat, yang mendorong mereka
untuk mencapai kesuksesan dan mengambil kendali dalam hidup mereka. Namun,
mereka juga mungkin menghadapi tekanan untuk selalu menjadi yang terbaik
dan merasa sulit untuk menerima kelemahan mereka.
Secara keseluruhan, pandangan para ahli psikologi
tersebut menunjukkan bahwa wanita "alpha" memiliki kepribadian yang
kuat, percaya diri, dan mandiri. Namun, mereka juga mungkin menghadapi tekanan
dan tantangan dalam menjaga rasa superioritas mereka dan menerima kelemahan
mereka.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan beri pendapat anda pada kolom komentar